DASAR DASAR PENGETAHUAN
Oleh : Jujun S. Suriasumantri
2. Penalaran
Menurut Andi Hakim Nasoetion, dalam sebuah ceramahnya di depan layar televisi, sekiranya binatang mempunyai kemampuan menalar, maka bukan harimau Jawa yang sekarang ini akan di lestarikan supaya jangan punah, melainkan manusia Jawa. Usaha pelestarian itu dipimpin oleh Menteri PPLH (Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup) yang bukan bernama Emil Salim melainkan seekor harimau yang bergelar professor. Dengan cakarnya, dengan taringnya, dengan kekuatannya, demikian kira kira ujar ilmuwan yang penuh humor ni,” harimau adalah jelas bukan tandingan manusia.”
Kemampuan menalar ini menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan kekuasaannya. Secara simbolik manusia memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan ini. Dia mengetahui man yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Secara terus menerus dia dipaksa harus mengambil pilihan: mana jalan yang benar mana jalan yang salah, mana tindakan yang baik mana tindakan yang buruk, dana apa yang indah dan apa yang jelek. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpaling kepada pengetahuan. 1)
Manusia adalah satu satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan ini secara sungguh sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan ini secara sungguh sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival). Seekor kera tahu mana buah jambu yang enak. Seorang anak tikus tahu mana kucing yang ganas. Anak tikus ini tentu saja di ajari induknya untuk sampai pada pengetahuan bahwa kucing itu berbahaya. Tetapi juga dalam hal ini, berbeda dengan tujuan pendidikan manusia, anak tikus hanya di ajari hal hal yang menyangkut kelangsungan hidupnya.
Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; manusia memberi makna pada kehidupan; manusia “memanusiakan” diri dalam hidupnya; dan masih banyak lagi pernyataan semacam ini: semua itu pada hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya; dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini.
Pengetahuan ini mampu di kembangkan manusia di sebabkan dua hal utama yakni, pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan fikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Seekor beruk bisa saja memberikan informasi kepada kelompoknya bahwa ada segerombolan gorilla datang menyerang; namun bagaimana berkembang bahasanya, dia tidak mampu mengkomunikasikan kepada beruk beruk lainnya, jalan fikiran yang analitis mengenai gejala tersebut. Tak ada seekor anjingpun, kata Bertrand Rusell, yang berkata kepada temannya, “ayahku miskin namun jujur.” Kalimat ini berasal dari drama Shakespeare yang terkenal. Dan tak ada seekor anjingpun, sambung Adam Smith yang secara sadar tukar-menukar tulang dengan temannya. Adam Smith dalam hal ini berbicara tentang prinsip ekonomi, yakni proses pertukaran yang dilakukan Homo Oeconomicus yang mengembangkan pengetahuan berupa ilmu ekonomi.
Sebab kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu. Secara garis besar cara berfikir seperti ini disebut penalaran. Binatang mampu berfikir namun tidak mampu berfikir nalar. Perbedaan utama antara seorang professor nuklir dengan anak kecil yang membangun bom atom dari pasir di-playgroup-nya tempat dia melakukan riset terletak pada kemampuannya dalam menalar. Instink binatang jauh lebih peka dari instink seorang insinyur geologi; mereka sudah jauh jauh berlindung ke tempat yang aman sebelum gunung meletus. Namun binatang tak bisa menalar tentang gejala tersebut: mengapa gunung meletus, faktor apa yang menyebabkannya, apa yang dapat di lakukan untuk mencegah semua itu terjadi.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkah manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalarr. Sudah barang tentu semua pengetahuan tidak berasal dari proses penalaran: sebab berpikir pun tidak semuanya berdasarkan penalaran. Manusia bukan semata-mata makluk berpikir: sekedar homo sapien yang steril. Manusia adalah makluk yang berpikir, merasa, mengindera, dan totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut, disamping wahyu: yang merupakan komunikasi Sang Pencipta dengan makluknya.
"Memang penalaran otak orang luar biasa,” simpul cendikiawan Bos Bubalus membacakan makalahnya (di klinik Fakultas Kedokteran Hewan, Jalan Taman Kencana, Bogor), meskipun penelitian kami menunjukkan, bahwa secara kimia dan fisika, otak kerbau mirip otak manusia..........”2)
Jadi otak Taufiq Ismail yang pernah menghuni Taman Kencana, Bogor enak juga di goreng juga kalau begitu.
Hakikat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan, meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berfikir menyandarkan pada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itupun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini maka dapat kita katakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logika tersendiri. Atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir logis, dimana berpikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Hal ini patut kita sadari bahwa berpikir logis itu mempunyai konotasi yang bersifat jamak (plural) dan bukan tunggal (singular). Suatu kegiatan berpikir bisa disebut logis ditinjau dari suatu logika tertentu, dan mungkin tidak logis bila ditinjau dari sudut logika yang lain. Hal ini sering menimbulkan gejala apa yang dapat kita sebut sebagai kekacauan penalaran yang di sebabkan oleh tidak konsistennya kita dalam mempergunakan pola berpikir tertentu.
Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri pula. Sifat analitik ini, kalau kita kaji lebih jauh, merupakan konsekuensi dari suatu pola berpikir tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah langkah tertentu.
Seperti kita sebutkan terdahulu tidak semua kegiatan berpikir mendasarkan pada penalaran. Berdasarkan kriteria penalaran tersebut di atas maka dapat kita katakan bahwa tidak semua kegiatan berpikir bersifat logis dan analitis. Atau lebih jauh dapat kita simpulkan: cara berpikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitik. Dengan demikian maka kita dapat membedakan secara garis besar ciri- ciri berpikir menurut penalaran dan berpikir yang bukan berdasarkan penalaran.
Perasaan merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Kegiatan berpikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran umpamanya adalah intuisi. Ituisi merupakan suatu kegiatan berpikir yang nonanalitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu. Berpikir intuitif ini memegang peranan yang penting dalam masyarakat yang berpikir nonanalitik, yang kemudian sering bergalau dengan perasaan. Jadi secara luas dapat kita katakan bahwa cara berpikir masyarakat dapat di kategorikan kepada cara berpikir analitik yang berupa penalaran dan cara berpikir yang nonanalitik yang berupa intuisi dan perasaan.
Di samping itu masih terdapat bentuk lain dalam usaha manusia untuk mendapatkan pengetahuan yakni wahyu. Di tinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan dua jenis pengetahuan. Yang pertama adalah pengetahuan yang di dapatkan sebagai hasil usaha yang aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik melalui penalaran maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intuisi. Di pihak lain terdapat bentuk pengetahuan yang kedua, yang bukan merupakan kebenaran yang di dapat sebagai hasil usaha aktif manusia. Dalam hal ini maka pengetahuan yang di dapat itu bukan berupa kesimpulan sebagai produk dari usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, melainkan berupa pengetahuan yang ditawarkan atau diberikan umpamanya wahyu yang diberikan tuhan lewat malaikat malaikat dan nabi nabinya. Manusia dalam menemukan kebenaran ini bersifat pasif sebagai penerima pemberitaan tersebut, yang kemudian di percaya atau tidak dipercaya, berdasarkan masing masing keyakinannya.
Pengetahuan juga dapat kita tinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan tersebut. Dalam hal wahyu dan intuisi, maka secara implisit kita mengakui bahwa wahyu (atau dalam hal ini Tuhan yang menyampaikan wahyu) dan intuisi adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu maka kita mendapatkan pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan) bahwa yang di wahyukan itu adalah benar demikian juga dengan intuisi, dimana kita percaya bahwa intuisi adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan berfikir intuitif tidak mempunyai logika atau pola berpikir tertentu. Jadi dalam hal ini bukan saja kita berbicara mengenai pola penemuan kebenaran melainkan juga sudah mencakup materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran tertentu.
Dalam hal penalaran maka kita belum berbicara mengenai materi dan sumber pengetahuan tersebut, sebab seperti kita katakana terdahulu, penalaran hanya merupakan cara berpikir tertentu. Untuk melakukan kegiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari suatu sumber kebenaran. Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio dan fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham yang kemudian disebut rasionalisme. Sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Penalaran yang akan dikaji dalam studi ini pada pokoknya adalah penalaran ilmiah, sebab usaha kita dalam mengembangkan kekuatan penalaran merupakan bagian dari usaha untuk meningkatkan mutu ilmu dan teknologi. Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif, di mana lebih lanjut penalaran deduktif terkati dengan rasionalisme, dan penalaran deduktif dengan empirisme. Oleh sebab itu maka dalam rangka mengkaji penalaran ilmiah kita terlebih dahulu harus menelaah dengan seksama penalaran deduktif dan induktif tersebut. Setelah itu di telaah bermacam-macam sumber pengetahuan yang ada yakni rasio, pengalaman, intuisi dan wahyu. Pengetahuan mengenai hakikat hal-hal tersebut memungkinkan kita untuk menelaah hakikat ilmu dengan seksama.